Aku membaca matamu, seperti membaca buku favorit yang telah usang, tahu setiap jeda dan titiknya, tahu bahwa di dalamnya ada perasaan yang kau sembunyikan. Tapi aku lebih memilih diam, bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tahu—kisah kita mungkin tak akan pernah sampai ke bab yang berjudul "Kita."
Kau mencintaiku, dan aku tahu itu. Bukan dari kata-kata, tapi dari caramu menatapku. Tapi aku… aku mencintaimu juga, dengan caraku sendiri—dengan menuliskan namamu dalam setiap doa, menyelipkan harapan kecil di balik senyum yang pura-pura tenang.
Sayangnya, takdir lebih pandai menulis akhir cerita. Ia membuat kita berjalan ke arah yang berbeda, seperti dua garis yang hampir bersilangan… tapi tidak pernah benar-benar bertemu.
Dan aku hanya bisa menjadi penanda halaman dalam hidupmu—hadir sejenak, lalu kau tutup… dan lupakan. Sedangkan aku, akan terus membuka halaman itu, membaca ulang kenangan yang tak pernah selesai kutulis.
Karena kadang, cinta yang paling tulus… adalah cinta yang tak pernah dikatakan, tapi diam-diam tumbuh, diam-diam patah, dan diam-diam… abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar