Cari Blog Ini

Minggu, 09 Maret 2025

Bertahan atau melepaskan

 Alin sedang menikmati sore bersama teman-temannya di sebuah kafe ketika ia tanpa sengaja bertemu dengan seorang pria bernama Hans. Percakapan mereka mengalir begitu saja, hingga akhirnya mereka mulai mengenal satu sama lain.


Hans adalah sosok yang introvert dan lebih suka mengekspresikan perasaannya lewat tindakan kecil yang penuh perhatian. Seperti memastikan orang lain merasa nyaman di dekatnya. Namun, di balik sifatnya yang lembut, ada luka yang masih membekas.


Dengan suara tenang, Hans bercerita tentang mantan kekasihnya yang berselingkuh dan betapa sulitnya ia melupakan masa lalu. Ia juga mengisahkan pengalamannya dengan seorang wanita yang ia temui di aplikasi kencan, yang mengajaknya menghadiri pesta ulang tahun temannya. Ketika hujan turun, wanita itu memilih untuk pergi lebih dulu dengan taksi online, meninggalkan Hans menunggu di bawah rintik hujan. Setibanya di lokasi, Hans memberi tahu bahwa ia sudah di depan, namun wanita itu justru menyuruhnya langsung masuk, tanpa repot-repot menjemputnya. Hans merasa kecewa dan akhirnya memilih untuk pulang.


Mendengar cerita itu, Alin merasakan campuran emosi, antara kasihan, kagum, dan penasaran. Hans terdengar seperti seseorang yang jujur dan terbuka, sesuatu yang jarang ia temui pada pria lain.

Seiring berjalannya waktu, Alin dan Hans mulai sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berjalan-jalan, berbincang, dan semakin mengenal satu sama lain. Bagi Alin, Hans adalah pribadi yang tenang dan dewasa, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman.


Malam itu, setelah mereka berjalan-jalan, Alin melihat jam tangannya. Sudah pukul delapan malam. "Kayaknya aku harus pulang sekarang," katanya dengan senyum kecil.


Hans mengangguk, lalu menawarkan untuk mengantarnya pulang. Di sepanjang perjalanan, Hans memperhatikan betapa cahaya lampu jalan memantulkan bayangan lembut di wajah Alin. Ia merasa aneh, Seperti ada sesuatu yang hangat di hatinya, tapi juga disertai dengan keraguan.


Sesampainya di depan rumah Alin, Hans ragu-ragu sejenak sebelum berbicara. "Alin, apakah kamu ingin bertemu lagi denganku?" tanyanya pelan.


Alin terkejut sejenak, lalu tersenyum. "Tentu saja. Aku ingin bertemu lagi denganmu."


Setelah Hans pergi, Alin masuk ke kamarnya dan segera mengirim pesan kepadanya. "Kamu sudah sampai rumah? Terima kasih untuk hari ini. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu."


Beberapa menit kemudian, Hans membalas. "Aku baru sampai. Terima kasih juga, Alin. Aku juga menikmati waktu bersamamu."


Namun, di balik pesan singkat itu, Hans masih merasa bimbang. Di satu sisi, ia ingin membuka hatinya untuk Alin. Di sisi lain, bayangan mantan kekasihnya masih belum sepenuhnya hilang.


Hans tahu bahwa Alin adalah sosok yang menyenangkan, seseorang yang membuatnya merasa dihargai dan diperhatikan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada perasaan yang masih menggantung.


Ia teringat pada mantannya, orang yang pernah begitu ia cintai, seseorang yang berhasil mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun ia telah disakiti, Hans sulit membuang perasaan bahwa mantannya berbeda dari semua wanita yang pernah ia temui. Tapi kali ini, ia ingin mencoba. Ia ingin memberi dirinya kesempatan untuk bahagia lagi. Lamunannya buyar ketika sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.


"Oke, Mungkin next time kita bisa ketemu lagi?"


Hans tersenyum tipis. "Tentu saja. Tapi besok aku harus berangkat ke Surabaya bersama keluargaku untuk bulan Ramadhan. Aku baru akan pulang seminggu setelah Lebaran."


Alin membaca pesan itu, lalu mengetik balasan, "Oh, aku mengerti. Semoga perjalananmu menyenangkan. Kita bisa bertemu lagi setelah kamu pulang."


Hans menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya membalas, "Terima kasih, Alin. Aku akan merindukanmu."


Dan untuk pertama kalinya, Hans mulai bertanya-tanya. apakah mungkin Alin adalah orang yang bisa membantunya benar-benar melupakan masa lalunya?


Hari pertama di Surabaya terasa aneh bagi Hans. Meskipun ia dikelilingi oleh keluarganya dan kesibukan Ramadhan, pikirannya terus melayang pada Alin. Biasanya, ia tidak pernah terlalu memikirkan seseorang setelah pertemuan singkat, tetapi ada sesuatu tentang Alin yang berbeda.


Ia membuka ponselnya, melihat percakapan terakhir mereka. "Kita bisa bertemu lagi setelah kamu pulang." Kata-kata itu membuatnya tersenyum kecil, tetapi sekaligus membuatnya berpikir.


"Apa aku benar-benar bisa melupakan masa laluku dan memberi kesempatan pada hubungan baru?"

Hans belum yakin.


Sementara itu, di kota tempatnya tinggal, Alin juga merasakan hal yang sama. Sejak Hans pergi, ia merasa ada yang kurang. Biasanya, ia tidak terlalu peduli jika seseorang pergi sementara, tetapi kali ini berbeda.


Ia beberapa kali membuka chat dengan Hans, ingin mengirim pesan, tetapi ragu. "Aku takut dia merasa terganggu," pikirnya.


Namun, di hari ketiga, ia akhirnya memberanikan diri untuk mengirim pesan.

"Hei, bagaimana di Surabaya? Semoga puasanya lancar."


Beberapa jam kemudian, Hans membalas. "Hei, Alin. Terima kasih! Di sini cukup seru, tapi aku tetap merindukan kota kita... dan juga ngobrol denganmu."


Balasan itu membuat jantung Alin berdebar sedikit lebih cepat. Ia tersenyum tanpa sadar.


Percakapan mereka pun berlanjut. Setiap malam sebelum tidur, mereka saling bertukar cerita. Tentang kesibukan Hans di Surabaya, tentang Alin yang mencoba resep baru untuk berbuka, tentang hal-hal kecil yang membuat mereka merasa lebih dekat.


Namun, meskipun Hans mulai merasa nyaman berbicara dengan Alin, bayangan mantannya masih sesekali muncul. Ia bertanya-tanya, apakah perasaan ini nyata, atau hanya pelariannya dari seseorang yang dulu begitu ia cintai?


Suatu malam, setelah berbuka puasa bersama keluarganya, Hans duduk sendirian di balkon rumah neneknya. Angin malam Surabaya berembus pelan, membawa serta kenangan yang sulit ia hindari. Ia membuka galeri ponselnya, lalu tanpa sadar, ia melihat foto lama bersama mantannya, Sophia. Senyuman Sophia di foto itu masih terlihat hangat, sama seperti dulu.


Hans menghela napas. Sudah hampir setahun sejak mereka berpisah, tetapi kenangan itu masih terasa segar.

Saat itu, Sophia adalah dunianya. Dia yang selalu mengingatkan Hans untuk makan tepat waktu, yang menyemangatinya saat ia merasa gagal, yang membuatnya percaya bahwa cinta itu indah. Namun, pada akhirnya, Sophia juga yang menghancurkan hatinya dengan pengkhianatan yang tak pernah ia duga.


"Aku sudah berubah jadi lebih baik karenanya. Tapi kenapa aku masih belum bisa melupakannya sepenuhnya?"

Pikirannya buyar saat notifikasi masuk. Sebuah pesan dari Alin.


"Hans, kamu lagi apa?"


Hans tersenyum kecil. Ia mengetik balasan, "Lagi duduk di balkon, menikmati angin malam. Kamu?"


"Lagi nonton drama, tapi nggak terlalu fokus. Kayaknya pikiranku ke tempat lain," jawab Alin.


Hans merasa penasaran. "Ke mana?"


Butuh beberapa menit sebelum Alin membalas. "Ke kamu."


Hans terdiam. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hatinya, tetapi bersamaan dengan itu, ada juga rasa bersalah.


"Aku belum sepenuhnya move on dari masa laluku. Apakah aku pantas untuk membuka hati untuk orang baru?"

Hans mengetik sesuatu, tetapi kemudian menghapusnya lagi. Ia tidak ingin menyakiti Alin, tetapi ia juga tidak ingin membohongi dirinya sendiri. Akhirnya, ia memilih untuk membalas dengan jujur.


"Alin, aku juga sering memikirkanmu. Tapi... ada sesuatu yang harus kamu tahu." Alin membaca pesan dari Hans berulang kali.


"Alin, aku juga sering memikirkanmu. Tapi... ada sesuatu yang harus kamu tahu."

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan cemas yang tiba-tiba menyelimutinya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan pikirannya sebelum akhirnya mengetik balasan.


"Apa itu, Hans?"


Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Hans, di sisi lain, menatap layar ponselnya dengan ragu. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang penting, momen di mana ia harus memutuskan apakah akan terus menjalani hubungan ini dengan kebimbangan atau bersikap jujur pada Alin.


Akhirnya, ia mengambil napas dalam-dalam dan mengetik, "Aku masih belum sepenuhnya bisa melupakan masa laluku. Aku masih sering teringat Sophia. Aku tahu ini tidak adil umtukmu, tapi aku tidak ingin berbohong."

Setelah mengirim pesan itu, Hans merasa dadanya sedikit lebih lega, tapi di saat yang sama, ia takut akan reaksi Alin.


Alin membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Ada rasa kecewa yang tiba-tiba menyeruak, tapi di sisi lain, ia menghargai kejujuran Hans.


"Aku mengerti, Hans. Aku menghargai kejujuranmu. Tapi… menurutmu, apa yang harus aku lakukan?" tulis Alin.

Hans terdiam. Ia tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ia ingin terus mengenal Alin, tapi ia juga tidak ingin menyeretnya ke dalam luka yang belum sembuh.


"Aku juga tidak tahu, Alin. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, tapi aku takut aku hanya akan menyakitimu."

Alin tersenyum pahit membaca pesan itu. Ia bisa merasakan ketulusan Hans, tapi ia juga sadar bahwa dirinya bisa terluka jika terus berharap pada seseorang yang belum benar-benar sembuh dari masa lalunya.

Setelah berpikir sejenak, Alin mengetik balasan.


"Kalau begitu, aku akan memberimu waktu. Aku tidak akan memaksamu untuk melupakan masa lalumu dengan cepat. Tapi aku juga tidak ingin menjadi orang yang hanya mengisi kekosongan dalam hatimu. Saat kamu sudah benar-benar siap, aku harap aku masih ada di sini."


Hans membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak pernah menyangka bahwa Alin akan merespons dengan begitu dewasa.


"Terima kasih, Alin. Aku sangat menghargai itu."


Alin menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Ia tahu bahwa perjalanannya dengan Hans tidak akan mudah, tapi untuk saat ini, ia memilih untuk tetap ada, meskipun ia sadar bahwa mungkin suatu saat nanti, ia harus melepaskan.


Setelah percakapan itu, interaksi antara Hans dan Alin tidak seintens sebelumnya. Mereka masih saling mengirim pesan sesekali, tetapi tidak ada lagi percakapan panjang hingga larut malam. Alin mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya, tetapi di dalam hatinya, ada ruang kosong yang perlahan mulai terasa. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, ia menyukai Hans lebih dari yang ia sadari.


Sementara itu, di Surabaya, Hans mulai banyak berpikir. Ia merasa bahwa dirinya terlalu pengecut untuk langsung melangkah ke hubungan baru, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa kehadiran Alin membawa sesuatu yang berbeda dalam hidupnya.


Suatu malam, ia duduk di kamar, menatap langit Surabaya yang gelap. Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri lagi. Foto-foto lama Sophia masih ada di sana.


Dengan napas berat, Hans mulai menghapus foto-foto itu satu per satu.


Ia tahu bahwa melupakan seseorang tidak semudah menekan tombol "hapus," tapi ia ingin mencoba.

Saat ia selesai, Hans membuka percakapan dengan Alin. Ia ingin mengirim pesan, tetapi ragu-ragu. Setelah beberapa menit, akhirnya ia mengetik, "Aku pulang besok, tapi cuma tiga hari. Aku ingin bertemu denganmu. Bisa?" tulis Hans.


Alin membaca pesan itu dan tanpa berpikir lama, ia langsung membalas, "Tentu saja. Aku juga ingin bertemu."

Hari yang dinanti tiba. Setelah sampai di kota, Hans segera menghubungi Alin.


"Aku sudah sampai. Aku tunggu kamu di restoran ini," katanya sambil mengirim lokasi.


Alin melihat peta di layar ponselnya. Restoran itu cukup jauh dari kantornya, dan saat itu hujan turun dengan deras. Dengan cepat, ia membuka aplikasi ojek online dan mencoba memesan kendaraan. Tapi tak ada satu pun yang tersedia. Ia mencoba lagi, dan lagi. Tetap tidak ada. Waktu berlalu. Hujan masih turun deras, dan langit semakin gelap. Alin mulai merasa kesal.


"Kenapa Hans gak ada inisiatif buat jemput aku, sih? Dia cuma nunggu di sana sambil bilang ‘gpp aku tungguin kok’ tanpa mikirin gimana susahnya aku cari ojek di tengah hujan kayak gini," pikirnya kesal.


Ia mengetik pesan, hampir saja mengungkapkan kekesalannya, tapi akhirnya menghapusnya. Hans, di sisi lain, hanya menunggu di restoran, tidak tahu betapa frustrasinya Alin saat itu. Ia sudah memesan makanan untuk mereka berdua dan berpikir bahwa ia bisa menunggu selama yang dibutuhkan. Sampai akhirnya, setelah azan berkumandang, barulah Alin berhasil mendapatkan ojek.


Di perjalanan menuju restoran, Alin masih merasa jengkel. Sebenarnya, ia ingin langsung pulang saja. Ia merasa Hans kurang peka. Tapi di sisi lain, ia juga merasa tidak tega membiarkan Hans menunggu sendirian setelah ia susah payah menyiapkan pertemuan ini.


"Kalau aku gak datang, mungkin setelah ini dia gak bakal ngajak ketemu lagi. Mungkin hubungan ini bakal semakin renggang," pikirnya.


Begitu sampai di restoran, Alin turun dari ojek dengan wajah yang masih sedikit kesal. Ia masuk ke dalam dan langsung melihat Hans duduk di sudut, tersenyum saat melihatnya datang.


"Maaf lama banget," kata Alin tanpa banyak ekspresi.


"Gak apa-apa, aku ngerti kok. Aku udah pesenin makanan buat kamu," kata Hans dengan nada lembut.

Alin duduk di hadapan Hans, masih ingin merasa kesal. Tapi saat ia melihat Hans yang tampak begitu tenang dan tulus menunggunya, perasaan kesalnya perlahan menghilang.


Hans mengambil tisu dan menyerahkannya pada Alin. "Kamu pasti capek banget, ya?" tanyanya.

Alin menghela napas, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Iya, lumayan. Hujannya gede banget."

"Aku benar-benar menghargai kamu udah mau datang, meskipun hujan-hujanan," kata Hans. "Aku senang bisa ketemu lagi."


Alin menatap Hans, dan saat itu ia menyadari satu hal, meskipun terkadang Hans kurang peka, ada sesuatu dalam dirinya yang tetap membuat Alin nyaman. Dan entah kenapa, semua rasa kesal tadi terasa tidak begitu penting lagi.


Malam itu, setelah pertemuan mereka di restoran, Alin dan Hans berjalan keluar bersama. Hujan sudah mulai reda, hanya menyisakan gerimis kecil yang membasahi jalanan.


Hans melirik ke arah Alin yang tampak lebih tenang sekarang. Ia lega karena meskipun Alin sempat kesal, setidaknya mereka masih bisa menikmati waktu bersama.


"Kamu pulang naik apa?" tanya Hans, menoleh ke arahnya.


"Kayaknya aku bakal pesen ojol lagi," jawab Alin sambil mengecek ponselnya.


Hans diam sejenak. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya karena tadi tidak menjemput Alin saat hujan deras. Ia merasa seharusnya bisa lebih peka.


"Aku antar, ya?" kata Hans akhirnya.


Alin terkejut sejenak, lalu tersenyum kecil. "Gak perlu, Hans. Aku bisa naik ojol."


"Tapi aku mau," kata Hans, suaranya pelan tapi tegas.


Alin menatapnya, dan entah kenapa kali ini ia tidak ingin menolak. Mungkin karena dalam hatinya, ia ingin menghabiskan sedikit lebih banyak waktu dengan Hans sebelum ia pergi lagi.


Mereka pun berjalan menuju parkiran. Hans memakaikan helm untuk Alin. Perjalanan mereka berlangsung dalam keheningan yang nyaman. Hanya suara hujan yang jatuh pelan menemani mereka. Saat hampir sampai di rumah, Alin memberanikan diri untuk bertanya, "Hans, sebenarnya aku sempat kesal tadi."


Hans mengangguk pelan. "Aku tahu."


"Kenapa kamu gak jemput aku waktu hujan deras tadi?"


Hans menghela napas. "Aku pikir... kalau aku tetap di restoran, kamu tahu bahwa aku akan tetap menunggu, seberapa lama pun. Aku gak mau bikin kamu merasa terburu-buru atau tertekan untuk datang cepat-cepat."

Alin terdiam. Ia tidak menyangka bahwa alasan Hans adalah sesuatu yang sesederhana, tapi juga begitu dalam.

"Aku gak berpikir sejauh itu," gumamnya.


Hans tersenyum tipis. "Aku memang kadang gak peka, Alin. Tapi aku berusaha."

Alin tersenyum kecil. Rasa kesalnya benar-benar hilang sekarang. Ia menatap ke jalanan, memikirkan sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya.


"Hans..."

"Hm?"

"Kamu masih sering kepikiran tentang masa lalu kamu, ya?"

Hans tidak langsung menjawab. Tangannya tetap di setir, matanya fokus ke jalan.

"Kadang," jawabnya jujur. "Tapi semakin aku habiskan waktu dengan kamu, semakin aku merasa... aku ingin melihat ke depan."


Alin merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Tapi ia tidak ingin terlalu berharap.

Motor berhenti tepat di depan rumah Alin. Ia turun dan membuka helm, lalu menoleh ke arah Hans.

"Terima kasih sudah mengantarku."


Hans menatapnya sebentar, lalu tersenyum. "Terima kasih juga sudah datang tadi."

Alin mengangguk, lalu turun dari motor. Tapi sebelum ia sempat melangkah pergi, Hans tiba-tiba memanggilnya.

"Alin."


Ia berbalik.


Hans tampak ragu sejenak, tapi kemudian berkata, "Aku akan kembali lagi setelah urusanku selesai. Saat aku kembali... aku ingin bertemu lagi denganmu."


Alin menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Hans.

Bukan sekadar ketertarikan, bukan sekadar kenyamanan. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang mungkin... bisa berubah menjadi cinta.


Alin tersenyum. "Aku akan menunggu."


Hans mengangguk, lalu pergi.


Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Alin merasa bahwa Hans mungkin benar-benar sedang mencoba membuka hatinya. Setelah Hans pergi kembali ke luar kota, Alin merasakan kekosongan yang aneh. Biasanya, ia tidak terlalu peduli jika seseorang datang dan pergi dari hidupnya. Tapi kali ini berbeda. Setiap malam sebelum tidur, ia tanpa sadar mengecek ponselnya, berharap ada pesan dari Hans. Dan hampir setiap malam, Hans memang selalu mengirim pesan.


"Hari ini capek banget, tapi aku senang bisa ngobrol sama kamu sebelum tidur."


"Di sini panas banget. Kamu gimana? Jangan lupa makan, ya."


Pesan-pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Alin tersenyum.


Namun, ada satu hal yang mengganjal dalam pikirannya.


Hans memang selalu ada, tapi ia tidak pernah benar-benar membicarakan tentang perasaannya. Kadang Alin bertanya-tanya, apakah Hans hanya menganggapnya sebagai teman? Atau apakah Hans masih ragu karena masa lalunya?


Suatu malam, setelah mereka mengobrol lewat chat cukup lama, Alin memberanikan diri untuk bertanya.

"Hans, kamu pernah kepikiran gak sih, tentang kita?"


Hans butuh waktu lama untuk membalas. Saat akhirnya balasannya datang, hanya ada satu kata.

"Pernah."


Alin menatap layar ponselnya. Jawaban itu menggantung di udara, seolah memiliki banyak arti yang belum tersampaikan.


Ia menelan ludah, jantungnya berdebar.


"Lalu, menurutmu kita ini apa?" tanyanya, mencoba untuk tidak berharap terlalu tinggi.

Tapi kali ini, balasan Hans datang lebih cepat.


"Aku gak tahu, Alin. Yang aku tahu, aku nyaman sama kamu. Tapi aku takut." Alin terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dalam pesan itu.


"Takut kenapa?" Hans tidak langsung membalas. Hingga beberapa menit kemudian, ia mengirim pesan yang membuat Alin semakin bingung.


"Aku takut kalau aku gak bisa memberi kamu apa yang kamu harapkan." Alin membaca pesan itu berkali-kali. Jadi, Hans memang memikirkan tentang mereka. Tapi ia masih ragu. Malam itu, Alin tidur dengan banyak pertanyaan di kepalanya.


Beberapa minggu berlalu. Hans akhirnya memberi kabar bahwa ia akan kembali ke kota.

"Aku pulang besok. Mau ketemu?"


Alin menatap pesan itu cukup lama. Ia ingin bertemu, tentu saja. Tapi di sisi lain, ada ketakutan yang mengendap di hatinya.


Ia takut jika Hans hanya singgah sementara, lalu pergi lagi—bukan hanya secara fisik, tapi juga dari hatinya.

Namun, ia tetap mengetik balasan. "Iya, aku mau ketemu. Susul langsung ke rumah, ya? Nanti aku share lokasi."

"Oke, sampai besok." Jawab Hans


Keesokan harinya, Hans datang menjemput di depan rumah Alin. Mereka memutuskan pergi ke sebuah mall yang sering mereka kunjungi, menonton film bersama, dan menikmati waktu yang mereka miliki. Saat tiba di bioskop, ternyata jadwal film masih satu jam lagi. Untuk menghabiskan waktu, mereka berkeliling mall, bercanda, dan berbincang seperti biasa.


Namun, ketika mereka duduk di area istirahat dekat bioskop, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Seorang wanita tiba-tiba menghampiri mereka. Tanpa sepatah kata, wanita itu langsung menatap Hans dengan ekspresi tak terbaca dan mengajak Hans bicara berdua.


Hans tampak ragu, tetapi sebelum ia bisa menolak, Alin berkata, "Gak apa-apa, kalau mau bicara dulu."

Hans akhirnya berdiri dan berjalan menjauh bersama wanita itu. Alin hanya bisa mengamati dari jauh, bertanya-tanya apa yang sedang mereka bicarakan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berusaha menepis pikirannya sendiri, tapi ada kegelisahan yang terus mengusik hatinya. Beberapa menit kemudian, Hans kembali.


"Siapa dia?" tanya Alin pelan, meski sebenarnya ia sudah menebak jawabannya.


Hans menghela napas. "Itu mantanku," jawabnya.


Saat itu Alin merasa sesak.


"Mantanmu mau apa?" tanyanya lagi, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.


"Gak ada apa-apa. Dia cuma tanya kamu siapa," kata Hans santai.


Alin menunggu jawaban selanjutnya.


"Aku bilang kalau kamu cuma temenku," tambah Hans.


Hati Alin terasa campur aduk. Ia tidak tahu harus merasa apa, marah, kecewa, atau mungkin... terluka. Tentu saja Hans berhak menjawab apa pun. Tapi entah kenapa, jawaban itu menyakitinya.


Hans melanjutkan, "Sebenarnya, tadi dia minta aku bicara di tempat lain, tapi aku gak mau karena aku di sini sama kamu." Alin hanya mengangguk kecil.


Hans menatapnya, lalu berkata, "Maaf ya, aku gak tahu dia bakal datang."


Alin tersenyum tipis. "Gak apa-apa." Tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa tidak baik-baik saja.


Setelah percakapan itu, mereka kembali ke bioskop. Saat menunggu di depan pintu masuk studio, tiba-tiba seorang wanita lain menatap Alin dengan sinis. "Ngapain liat-liat?" katanya ketus.


Alin mengerutkan kening. Dia yang dari tadi menatap, tapi malah balik menuduh? Hans langsung berbisik, "Dia temennya mantanku. Dari tadi aku udah lihat dia ngikutin kita. Kayaknya dia yang ngasih tahu mantanku kalau aku di sini." Alin hanya diam.


Mereka pun masuk ke dalam bioskop. Tapi sialnya, wanita tadi duduk tepat di belakang mereka. Sepanjang film, Alin mendengar wanita itu berbisik pelan, namun cukup jelas untuk sampai ke telinganya.


"Dasar pelakor." Jantung Alin mencelos.


Ia ingin menoleh, ingin membela diri, tapi ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan, Jadi ia memilih diam. Yang lebih menyakitkan, sejak insiden tadi, Hans berubah. Ia jadi lebih banyak diam, sesekali mengecek ponselnya, dan tak lagi berbicara dengan Alin seperti sebelumnya.


Alin merasakan sesuatu yang mengganjal. Ada yang berubah, tapi ia tidak tahu apa. Setelah film selesai, Hans mengajak Alin makan di tempat favoritnya. Namun, suasana di antara mereka terasa berbeda. Hans berusaha mengalihkan pembicaraan setiap kali Alin membahas tentang mantannya. Alin hanya bisa menahan diri. 


Saat mereka dalam perjalanan pulang, hujan mulai turun deras. Mereka berhenti sebentar untuk mengenakan jas hujan, lalu melanjutkan perjalanan.


Alin memandangi rintik hujan di kaca helmnya, pikirannya kacau.

Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya...

Apakah Hans benar-benar serius dengan dirinya?

Atau ia hanya seseorang yang datang sebagai pelarian?


Beberapa hari setelah pertemuan itu, Hans mulai berubah. Ia jadi lebih sering slow response. Jika sebelumnya ia selalu membalas chat Alin dengan cepat, kini ia bisa menghilang berjam-jam tanpa kabar.

Awalnya, Alin mencoba memahami. "Mungkin dia sibuk."


Namun, ketika Hans terus-menerus beralasan "lagi demam" atau "gak sempat buka WhatsApp", Alin mulai merasa ada yang tidak beres.


Ia mencoba bertanya secara langsung. "Hans, kamu serius gak sih sama aku?"


Hans membalas cepat kali ini. "Serius, aku gak ada niat buat mainin kamu."


Tapi anehnya, sikapnya bertolak belakang dengan kata-katanya. Hans masih tetap slow response, masih sering menghilang tanpa kabar, dan lebih sering terlihat aktif di sosial media dibandingkan membalas pesan Alin.


Suatu hari, Alin tanpa sengaja melihat story Hans. Ia melihat sesuatu yang membuat hatinya sakit. Hans membagikan lagu sedih, dengan lirik yang jelas-jelas menggambarkan seseorang yang belum bisa move on dari mantan. Alin menatap layar ponselnya, tangannya gemetar.


Saat itu, ia mulai menyadari satu hal. Mungkin selama ini, ia hanya berjalan sendirian dalam hubungan ini.

Hari-hari berikutnya, Alin mulai merasakan perubahan yang semakin nyata dari Hans. Jika dulu Hans selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengannya, kini pesan-pesan Alin sering hanya centang dua tanpa balasan. Alasan Hans selalu sama: sibuk, lelah, atau sedang tidak enak badan.


Awalnya, Alin mencoba mengerti. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Hans memang sedang tidak dalam kondisi yang baik. Namun, semakin hari, semakin sulit baginya untuk menepis perasaan bahwa Hans memang mulai menjauh.


Puncaknya adalah ketika suatu malam Alin melihat story Hans, foto secangkir kopi di sebuah kafe dengan caption, "Some time alone." Alin tidak ingin berpikiran buruk, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa kecewa. Jika Hans benar-benar sedang sibuk atau tidak enak badan, mengapa ia masih sempat pergi ke kafe? Dengan hati-hati, Alin mengirim pesan.


Alin: Kamu lagi di luar?

Hans: Iya, butuh waktu sendiri sebentar.

Alin: Oh… kalau gitu nggak ganggu, deh. Jaga diri ya.


Hans hanya membalas dengan emotikon thumbs up. Alin menatap layar ponselnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia ingin percaya bahwa Hans memang hanya butuh waktu sendiri, tapi di sisi lain, ia merasa tidak dianggap. Jika Hans benar-benar serius dengannya, bukankah seharusnya Hans bisa berbagi sedikit tentang apa yang ia rasakan?


Malam itu, Alin sulit tidur. Ia bertanya-tanya, apakah ia terlalu menuntut? Ataukah Hans memang perlahan mulai menghilang dari kehidupannya?


Namun, di balik semua pertanyaan itu, ada satu hal yang tetap ia yakini, ia belum siap untuk melepaskan Hans.

Keesokan harinya, Alin akhirnya memutuskan untuk mengajak Hans bicara. Ia tidak ingin terus-terusan menduga-duga tanpa kejelasan.


“Hans, bisa ketemu hari ini? Aku ingin ngobrol sebentar.” Tanya Alin

Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Alin hampir menyerah menunggu ketika akhirnya ponselnya bergetar.

“Hari ini aku sibuk, mungkin besok ya?”


Jawaban itu terasa seperti alasan yang dibuat-buat. Tapi Alin menahan diri untuk tidak langsung bereaksi negatif.

“Oke, besok ya. Aku tunggu.”


Keesokan harinya, mereka akhirnya bertemu di sebuah kafe dekat rumah Alin. Suasana terasa canggung sejak awal. Hans lebih banyak menunduk, sementara Alin berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan isi hatinya.


"Hans, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku harap kamu jawab dengan jujur," kata Alin akhirnya.


Hans mengangguk pelan, tetapi sorot matanya tampak gelisah.


"Kenapa kamu berubah?" suara Alin bergetar. "Dulu kamu selalu ada buat aku. Tapi sekarang, kamu makin jauh. Aku tahu aku bukan siapa-siapa buatmu, tapi kalau memang ada sesuatu, aku ingin tahu."


Hans menghela napas panjang. Ia mengaduk kopinya tanpa benar-benar minum.


"Aku nggak berubah, Lin," katanya pelan. "Aku cuma lagi banyak pikiran."


Alin menunggu penjelasan lebih lanjut, tapi Hans tidak mengatakan apa-apa lagi.


"Kalau memang ada yang mengganggumu, kenapa nggak cerita ke aku?" tanya Alin, berusaha tetap tenang.


Hans terdiam. Ia menatap ke luar jendela sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku masih belum benar-benar move on dari mantanku."


Jawaban itu menusuk hati Alin lebih dalam dari yang ia duga. Meskipun ia sudah menduga hal ini sejak lama, mendengarnya langsung dari Hans membuat segalanya terasa lebih nyata.


"Jadi… selama ini aku cuma jadi pelarian?" tanya Alin dengan suara bergetar.


"Bukan gitu," Hans buru-buru menyangkal. "Aku nyaman sama kamu, Lin. Aku suka sama kamu. Tapi di saat yang sama, aku masih belum sepenuhnya bisa melupakan dia."


Alin menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia ingin marah, ingin menyalahkan Hans karena memberinya harapan. Tapi di sisi lain, ia juga memahami perasaan Hans.


"Kalau kamu masih belum bisa move on, kenapa ngajak aku dekat?" tanya Alin akhirnya.


Hans terdiam lama sebelum akhirnya berkata dengan suara lirih, "Karena aku nggak mau sendirian."


Jawaban itu membuat Alin sadar. Selama ini, ia berusaha bertahan untuk seseorang yang bahkan belum benar-benar memilihnya.


Ada keheningan panjang di antara mereka. Alin menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di atas meja.

"Jadi sekarang gimana?" tanya Alin pelan.


Hans tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir keras sebelum akhirnya berkata, "Aku nggak tahu, Lin. Aku butuh waktu."


Dan saat itulah Alin menyadari sesuatu. Selama ini, ia selalu menunggu - nunggu Hans berubah, menunggu Hans memberi kepastian, menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah datang.


Tapi apakah ia ingin terus menunggu?


Sepulang dari pertemuan itu, Alin merasa hatinya berat. Di satu sisi, ia ingin tetap bertahan. Ia menyukai Hans, dan ia berharap suatu hari Hans bisa melihatnya lebih dari sekadar seseorang yang menemani saat ia kesepian.

Tapi di sisi lain, Alin juga lelah. Ia lelah menjadi pilihan kedua. Lelah menunggu sesuatu yang tidak pasti. Malam itu, ia duduk di kamarnya, menatap layar ponselnya yang penuh dengan chat dari sahabatnya, Rina.


Rina: Jadi gimana tadi ketemu Hans?

Rina: Dia bilang apa?

Rina: Lin, kamu jangan nyakitin diri sendiri, ya.

Alin menghela napas panjang sebelum akhirnya membalas.

Alin: Dia bilang dia masih belum bisa move on dari mantannya.


Tidak butuh waktu lama sampai balasan dari Rina muncul.

Rina: Dan kamu masih mau bertahan?

Pertanyaan itu membuat Alin terdiam.

Apakah ia masih mau bertahan?


Selama ini, ia selalu menenangkan dirinya sendiri dengan berpikir bahwa Hans hanya butuh waktu. Tapi sekarang ia sadar, Hans bukan hanya butuh waktu. Hans butuh kepastian yang bahkan ia sendiri tidak tahu kapan bisa menemukannya.


Beberapa hari berlalu, dan Alin tetap berusaha bertahan. Ia masih menghubungi Hans, masih mencoba memahami perasaannya. Tapi Hans semakin jarang membalas pesannya. Jika pun membalas, hanya seperlunya. Sampai suatu malam, Alin akhirnya tak tahan lagi. Dengan hati yang penuh keraguan, ia mengetik pesan.


Alin: Sebenernya kamu ke aku itu gimana sih? Beneran serius atau nggak? Kalau nggak, yaudah, aku mundur.

Beberapa menit berlalu tanpa jawaban. Lalu akhirnya ponselnya bergetar.

Hans: Aku juga bingung. Apalagi jarak kita jauh.

Alin menggigit bibirnya. Ia tahu, ini bukan tentang jarak. Ini tentang sesuatu yang lain.

Alin: Karena jarak? Atau karena hal lain?

Pesan itu hanya dibaca tanpa balasan. Beberapa menit kemudian, akhirnya Hans membalas.

Hans: I don’t know. Jawaban itu terasa seperti tamparan.

Alin menatap layar ponselnya lama, lalu mengetik satu kata terakhir.

Alin: Oke.


Itu adalah percakapan terakhir mereka. Setelah itu, semuanya berakhir dalam kesunyian. Alin hancur. Lebih hancur dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia sudah terlalu banyak berharap pada Hans. Terlalu yakin bahwa Hans adalah yang terbaik untuknya. Tapi ternyata, Hans justru memberi luka terdalam dalam hidupnya.


Malam-malam berlalu dengan air mata. Ia menangis sendirian, tidak bisa menerima kenyataan bahwa seseorang yang sangat ia perjuangkan justru dengan mudahnya pergi. Ia mencoba move on. Menghapus semua jejak Hans dari hidupnya. Meng-unfollow semua media sosialnya. Tapi selalu gagal. Setiap kali ia hampir berhasil, rasa rindu itu datang lagi. Setiap kali ia ingin berhenti berharap, ada bagian dalam hatinya yang tetap menunggu.


Sampai akhirnya, dalam keputusasaan, Alin kembali menghubungi Hans. Tapi tak ada balasan. Hans benar-benar telah pergi. Waktu berlalu, Bulan demi bulan. Hingga hampir setahun kemudian, Alin masih sendiri. Bukan karena tidak ada yang mendekatinya, tapi karena hatinya sudah terlalu lelah. Cinta yang dulu ia percaya, kini terasa seperti kebohongan. Ia tak lagi percaya pada janji-janji manis. Tak lagi percaya bahwa seseorang akan benar-benar tinggal. Dan sejak saat itu, Alin memilih untuk menutup hati untuk selamanya.


Waktu terus berjalan.


Setahun berlalu sejak percakapan terakhirnya dengan Hans, dan Alin masih berada di tempat yang sama, sendiri. Tapi tidak seperti dulu, kali ini bukan karena ia menunggu. Tapi karena ia memilih.


Di awal, perasaan kehilangan itu terasa seperti lubang di hatinya. Ia masih sering membuka chat lama, membaca ulang pesan-pesan yang dulu membuatnya tersenyum, lalu menangis karena sadar bahwa semua itu sudah tak berarti lagi.


Ia masih sering bertanya, Kenapa?

Kenapa Hans begitu mudah pergi?

Kenapa ia begitu sulit melupakan?


Tapi pada akhirnya, ia sadar bukan Hans yang harus ia tanyakan, tapi dirinya sendiri. 

Kenapa ia bertahan pada seseorang yang tak pernah benar-benar memilihnya?

Kenapa ia menggenggam sesuatu yang sejak awal tidak digenggam oleh orang itu?


Dan pada hari itu, di sebuah sore yang biasa, di tengah hujan gerimis yang jatuh di jendela kamarnya, Alin akhirnya menerima satu hal yang selama ini sulit ia terima:

Hans tidak akan kembali.

Dan ia harus berhenti menunggu.


Ada hari-hari di mana Alin merasa baik-baik saja, tertawa dengan teman-temannya, menikmati hidupnya. Tapi ada juga hari-hari di mana ia kembali tenggelam dalam kenangan, kembali merasakan sakit yang sama. Tapi kali ini, ia tidak membiarkan rasa sakit itu mengalahkannya.


Setiap kali kenangan itu datang, ia mengingatkan dirinya sendiri:

Jika seseorang benar-benar mencintaimu, mereka tidak akan membuatmu bertanya-tanya.


Ia mulai fokus pada dirinya sendiri. Ia mengejar impian yang sempat ia tunda, mencoba hal-hal baru, memperbaiki hidupnya sedikit demi sedikit. Ia mulai menulis lagi, menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata, bukan pesan yang tak akan pernah terbalas. Dan tanpa ia sadari, perlahan-lahan, luka itu mulai sembuh.


Suatu hari, saat sedang bersantai di kafe sendirian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah ia hapus, tapi masih ia kenali.


Hans: Apa kabar?

Alin menatap layar itu lama. Dulu, mungkin ia akan menangis melihat pesan ini. Mungkin ia akan berdebar, berharap Hans kembali untuknya.


Tapi tidak kali ini. Kali ini, ia hanya tersenyum kecil, lalu menghapus pesan itu tanpa membalas. Bukan karena ia benci. Tapi karena ia sudah selesai. Karena akhirnya, ia benar-benar melepaskan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya terasa ringan.


Setelah menutup bab tentang Hans, Alin mulai benar-benar fokus pada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mencintai seseorang yang bahkan tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Ia lupa bahwa dirinya juga layak dicintai oleh seseorang yang tidak ragu, yang tidak butuh waktu untuk memilihnya. Tapi sebelum itu, ia ingin belajar mencintai dirinya sendiri dulu.


Hari-hari berlalu, dan Alin mulai melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia. Ia kembali membaca buku yang dulu ia tinggalkan. Ia mulai menulis lagi, menumpahkan semua perasaan yang pernah ia pendam. Ia belajar menikmati waktu sendiri, bukan karena ia kesepian, tapi karena ia sadar bahwa kebahagiaan tidak harus selalu datang dari orang lain.


Ia juga mulai membuka diri untuk bertemu orang-orang baru, bukan untuk mencari pengganti Hans, tapi untuk mengingatkan dirinya bahwa dunia ini luas dan masih banyak hal yang bisa ia jelajahi.

Lambat laun, luka di hatinya semakin memudar.


Bukan karena ia melupakan Hans, tapi karena ia tidak lagi membiarkan Hans menjadi pusat dunianya.

Suatu soe, Alin duduk di sebuah kafe favoritnya, menikmati secangkir lemon tea sambil menulis di jurnalnya.

Ia menuliskan hal-hal yang dulu ia takut untuk akui:


"Aku pernah mencintai seseorang yang tidak pernah benar-benar memilihku. Aku pernah bertahan pada sesuatu yang tidak pasti, dan itu menyakitkan. Tapi aku tidak menyesal. Karena dari semua itu, aku belajar. Aku belajar untuk tidak meminta seseorang mencintaiku. Aku belajar bahwa aku tidak boleh menunggu seseorang yang bahkan tidak yakin ingin bersamaku. Dan yang terpenting, aku belajar bahwa aku sudah cukup, bahkan tanpa dia."


Saat menutup jurnalnya, Alin tersenyum.


Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak lagi merasa kehilangan.

Ia merasa bebas. Dan di dalam hatinya, ia tahu ini bukan akhir dari kisahnya. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Mungkin suatu hari nanti, Alin akan bertemu seseorang yang benar-benar memilihnya tanpa ragu. Tapi sampai hari itu tiba, ia akan tetap bahagia dengan atau tanpa cinta dari orang lain.


Karena akhirnya, ia mengerti.

Bahagia itu bukan soal siapa yang ada di sisinya.

Bahagia itu tentang dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Centle Reminder

Orang yang tepat akan mengetahui cara mempertahankan cintamu. Orang yang tepat akan benar-benar memilihmu sebagaimana kamu memilih mereka. K...