Kita seperti senja.
Indah, hangat, tapi selalu datang di waktu yang salah. Aku ada saat kamu mulai pergi, dan kamu menoleh saat aku sudah berbalik.
Kau mencintaiku.
Aku tahu itu.
Aku melihatnya dari cara kau bersikap, dalam tatapanmu yang pelan-pelan mencair saat kita bicara, dalam ragu-ragu yang manis saat kau mencoba menyembunyikan perasaan itu.
Tapi aku…
Aku juga mencintaimu.
Sayangnya, kau tak pernah tahu.
Lucu, ya?
Kita saling jatuh, tapi sama-sama mengira kita jatuh sendiri.
Kau menatapku dengan harap yang kau kubur dalam-dalam, dan aku menatapmu dengan rindu yang tak pernah punya tempat pulang.
Kau pikir cintamu tak terbalas, sementara aku terlalu takut memperlihatkan bahwa aku membalasnya.
Aku menyayangimu dalam diam, kau pun menyayangiku dalam sunyi. Tapi kita terlalu sibuk menunggu satu sama lain untuk bicara, sampai akhirnya waktu menyeret kita ke arah yang berbeda.
Kita bukan tak saling mencinta, kita hanya terlambat. Terlambat menyadari, terlambat berani, terlambat jujur. Dan ketika kita akhirnya menyadari, dunia sudah tak memberi ruang untuk kita menjadi satu.
Kini, kita hanyalah dua orang yang pernah saling pandang lebih lama dari seharusnya, pernah saling menjaga dari jauh, pernah saling berharap dalam doa masing-masing, namun tak pernah benar-benar saling memiliki.
Kita adalah senja—tak pernah benar-benar siang, tak sempat menjadi malam. Hanya peralihan yang indah, tapi tak pernah bertahan.
Dan cinta kita?
Bukan tidak cukup.
Hanya tidak tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar