Cari Blog Ini

Minggu, 20 April 2025

Wajah Kartini di Setiap Perempuan

 Kartini bukan sekadar nama dalam buku sejarah,

Kartini hidup hidup dalam langkah setiap perempuan yang memilih untuk bangkit, meski dunia memintanya tunduk.

Ia hadir dalam peluh yang jatuh tanpa keluh,

dalam senyum yang tetap merekah di tengah lelah.


Ia ada di tangan-tangan yang membentuk harapan,

di mata yang menatap masa depan dengan keyakinan.

Kartini hidup dalam perempuan yang memeluk banyak peran, 

yang merawat dengan hati seorang ibu, 

berkarya dengan jiwa seorang pekerja,

menjaga harap dalam sunyi,

dan menyalakan cahaya di tengah gelapnya tantangan.


Perempuan bukan sekadar pelengkap zaman,

mereka adalah denyutnya.

Mereka adalah akar yang diam-diam menguatkan pohon kehidupan.


Kartini ada di setiap perempuan

yang memilih untuk berani,

bekerja keras,

dan mencintai perannya dengan sepenuh hati.


Selasa, 15 April 2025

Senja yang Tak Pernah Saling Menyapa

Kita seperti senja.

Indah, hangat, tapi selalu datang di waktu yang salah. Aku ada saat kamu mulai pergi, dan kamu menoleh saat aku sudah berbalik.


Kau mencintaiku.

Aku tahu itu.

Aku melihatnya dari cara kau bersikap, dalam tatapanmu yang pelan-pelan mencair saat kita bicara, dalam ragu-ragu yang manis saat kau mencoba menyembunyikan perasaan itu.


Tapi aku…

Aku juga mencintaimu.

Sayangnya, kau tak pernah tahu.


Lucu, ya?

Kita saling jatuh, tapi sama-sama mengira kita jatuh sendiri.


Kau menatapku dengan harap yang kau kubur dalam-dalam, dan aku menatapmu dengan rindu yang tak pernah punya tempat pulang.

Kau pikir cintamu tak terbalas, sementara aku terlalu takut memperlihatkan bahwa aku membalasnya.


Aku menyayangimu dalam diam, kau pun menyayangiku dalam sunyi. Tapi kita terlalu sibuk menunggu satu sama lain untuk bicara, sampai akhirnya waktu menyeret kita ke arah yang berbeda.


Kita bukan tak saling mencinta, kita hanya terlambat. Terlambat menyadari, terlambat berani, terlambat jujur. Dan ketika kita akhirnya menyadari, dunia sudah tak memberi ruang untuk kita menjadi satu.


Kini, kita hanyalah dua orang yang pernah saling pandang lebih lama dari seharusnya, pernah saling menjaga dari jauh, pernah saling berharap dalam doa masing-masing, namun tak pernah benar-benar saling memiliki.


Kita adalah senja—tak pernah benar-benar siang, tak sempat menjadi malam. Hanya peralihan yang indah, tapi tak pernah bertahan.


Dan cinta kita?

Bukan tidak cukup.

Hanya tidak tepat.





Kita, dalam Buku yang Tak Pernah Selesai

Kita adalah dua tokoh utama dalam buku yang sama, tapi ditulis di bab yang berbeda.

Aku membaca tiap gerak-gerikmu dengan hati yang berdebar, tahu bahwa namaku hidup dalam diam-diam doamu. Aku tahu, kau mencintaiku.

Tapi aku juga tahu—kau tak tahu, bahwa aku pun mencintaimu.


Lucu ya?

Kita sama-sama jatuh hati, tapi tak pernah saling bicara.

Aku menatapmu dengan rindu yang ku sembunyikan dalam senyum, sedang kau menatapku dengan keyakinan bahwa cintamu hanyalah satu arah.

Kau yakin aku tak tahu, aku malah yakin kau tak peduli.


Takdir menuliskan kita di halaman yang terlalu jauh untuk saling sentuh.

Kita berjalan dalam cerita yang sama, tapi tak pernah benar-benar bertemu.

Ada kalimat-kalimat yang ingin kuucapkan, tapi selalu terselip di antara jeda dan ragu.

Sedang kau, menunggu aku membaca isyarat-isyarat yang kau tulis dalam diam.


Dan begitulah kita, dua orang yang saling mencintai…

Tapi membiarkan cinta itu layu dalam diam, karena terlalu takut untuk membuka halaman baru.

Karena terlalu yakin bahwa perasaan ini tak bersambut—padahal sebenarnya, hanya salah membaca bab satu sama lain.


Mungkin ini memang kisah kita:

Bukan tentang akhir bahagia,

tapi tentang dua hati yang saling mencinta,

namun terjebak dalam kesunyian kata-kata.

Halaman yang Tak Pernah Terbit

Di antara lembaran-lembaran waktu, kau dan aku adalah dua paragraf yang ditulis dengan hati-hati, namun tak pernah bersisian dalam satu halaman yang sama. Kita adalah cerita yang semesta tulis dengan pena ragu—penuh makna, tapi tak pernah utuh.

Aku membaca matamu, seperti membaca buku favorit yang telah usang, tahu setiap jeda dan titiknya, tahu bahwa di dalamnya ada perasaan yang kau sembunyikan. Tapi aku lebih memilih diam, bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tahu—kisah kita mungkin tak akan pernah sampai ke bab yang berjudul "Kita."

Kau mencintaiku, dan aku tahu itu. Bukan dari kata-kata, tapi dari caramu menatapku. Tapi aku… aku mencintaimu juga, dengan caraku sendiri—dengan menuliskan namamu dalam setiap doa, menyelipkan harapan kecil di balik senyum yang pura-pura tenang.

Sayangnya, takdir lebih pandai menulis akhir cerita. Ia membuat kita berjalan ke arah yang berbeda, seperti dua garis yang hampir bersilangan… tapi tidak pernah benar-benar bertemu.

Dan aku hanya bisa menjadi penanda halaman dalam hidupmu—hadir sejenak, lalu kau tutup… dan lupakan. Sedangkan aku, akan terus membuka halaman itu, membaca ulang kenangan yang tak pernah selesai kutulis.

Karena kadang, cinta yang paling tulus… adalah cinta yang tak pernah dikatakan, tapi diam-diam tumbuh, diam-diam patah, dan diam-diam… abadi.

Minggu, 13 April 2025

Si Introvert

Awal mula aku kenal kamu, aku ngelihat sosok yang dingin, super cuek, dan jujur aja… sok cool banget. Rasanya mustahil kamu bisa suka sama aku, karena nggak ada satu pun tanda yang nunjukkin itu. Ya, meskipun kamu pernah ngasih aku es, tapi itukan melalui orang lain selain itu… aku nggak ngerasa ada effort atau perhatian lebih.

Tapi ternyata aku salah. Waktu akhirnya aku tahu kalau kamu beneran suka sama aku, aku sempat nggak percaya. Dan dari situlah, aku mulai membuka hatiku buat kamu—perlahan, tapi pasti.

Aku nggak tahu apakah itu keputusan yang tepat atau salah. Yang aku tahu, saat ini aku mulai mencintaimu… dalam diamku. Tapi seperti halnya banyak cerita lain yang nggak bisa berakhir bahagia, sepertinya aku juga harus belajar untuk menghapus perasaan ini. Biarlah kamu tetap hidup dalam tulisan-tulisanku. Biarlah waktu dan takdir yang menentukan, apakah kamu hanya mampir sebentar, atau memang ditakdirkan menetap.

Aku ingin kamu tahu, kamu pernah jadi seseorang yang aku harapkan diam-diam. Tapi hidup nggak selalu tentang siapa yang kita inginkan, kan? Kadang kita dipertemukan untuk saling menguatkan, bukan untuk saling memiliki.

Di tempat yang baru nanti, semoga kamu tetap bahagia, tetap jadi versi terbaik dari dirimu sendiri, dan terus sukses mengejar mimpi-mimpimu. Perjalanan kita masih panjang, dan aku akan lebih hati-hati lagi dalam menempatkan hati. Bukan karena aku menyesal pernah mengagumimu, tapi karena aku belajar—bahwa mencintai juga tentang tahu kapan harus melepas.

Makasih ya… sudah pernah hadir, sudah pernah memberi rasa, meskipun akhirnya tak bisa jadi nyata. Mulai sekarang, aku serahkan semua soal hati ke Tuhan. Karena aku percaya, apapun yang ditulis Tuhan untukku, pasti itu yang terbaik.

Semoga kamu selalu baik-baik saja, di mana pun kamu berada. 

Dear April

Aku kembali duduk di bawah langit yang terasa terlalu sunyi.

Bulan ini datang lagi, menyeret luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya.

Tahun lalu, seseorang yang kucintai pergi—tersesat dalam masa lalunya, meninggalkanku tanpa pilihan selain merelakan.

Kupikir, setelah itu tak akan ada rasa sakit yang lebih parah.

Nyatanya, aku salah.


Tahun ini, hatiku kembali dipecahkan.

Bukan oleh pengkhianatan, bukan pula oleh pertengkaran,

Tapi oleh perpisahan yang tak bisa kuhindari.

Dia akan pergi, dibawa oleh takdir atau mungkin oleh harapan yang bukan aku.

Dan aku, lagi-lagi, ditinggalkan.


Aku benci harus merelakan.

Tapi lebih dari itu, aku benci karena aku mengerti.

Aku tahu dia akan bahagia di sana, dekat dengan orang tuanya.

Dan aku?

Tinggal di sini, menghapus jejaknya pelan-pelan dari ingatan yang tak pernah benar-benar ingin melupakan.


Aku mencintainya, dan mungkin itu adalah kesalahanku.

Cinta ini sunyi, tak bersuara,

Dan kini harus perlahan kubunuh sendiri…

Sebelum ia membunuhku terlebih dulu.


Karena mencintai tanpa memiliki,

adalah luka yang tak berdarah tapi terus mengalir.

Dan melepaskan tanpa pernah menggenggam,

adalah kehilangan yang bahkan tak bisa ditangisi.


April, bulan ini seharusnya tentang harapan.

Tapi bagiku, ia selalu datang dengan perpisahan.

Mungkin, aku memang ditakdirkan untuk selalu ditinggalkan…

Oleh orang-orang yang paling ingin kupeluk selamanya.

A Centle Reminder

Orang yang tepat akan mengetahui cara mempertahankan cintamu. Orang yang tepat akan benar-benar memilihmu sebagaimana kamu memilih mereka. K...